Jumat, 19 Agustus 2011

FAKTO-FAKTOR DEGRADASI TANAH

FAKTOR-FAKTOR DEGRADASI TANAH
Faktor degradasi tanah umumnya terbagi 2 jenis yaitu akibat faktor alami dan akibat faktor campur tangan manusia. Menurut Barrow (1991) faktor alami penyebab degradasi tanah antara lain: areal berlereng curam, tanah mudah rusak, curah hujan intensif, dan lain-lain.  Faktor degradasi tanah akibat campur tangan manusia baik langsung maupun tidak langsung lebih mendominasi dibandingkan faktor alami, antara lain: perubahan populasi, marjinalisasi penduduk, kemiskinan penduduk, masalah kepemilikan lahan, ketidakstabilan politik dan kesalahan pengelolaan, kondisi sosial dan ekonomi, masalah kesehatan, dan pengembangan pertanian yang tidak tepat.  Oldeman (1994) menyatakan lima faktor penyebab degradasi tanah akibat  campur tangan manusia secara langsung, yaitu: deforestasi, overgrazing, aktivitas pertanian, eksploitasi berlebihan,  dan aktivitas industri dan bioindustri. Sejalan dengan pendapat sebelumnya, Lal (1986) mengemukakan bahwa faktor penyebab tanah terdegradasi dan rendahnya produktivitas, antara lain: deforestasi, mekanisasi dalam usahatani, kebakaran, penggunaan bahan kimia pertanian, dan  penanaman secara monokultur. Faktor-faktor tersebut di Indonesia umumnya terjadi secara simultan, sebab deforestasi umumnya adalah langkah permulaan degradasi lahan, dan umumnya tergantung dari aktivitas berikutnya apakah diotelantarkan, digunakan ladang atau perkebunan maka akan terjadi pembakaran akibat campur tangan manusia yang tidak terkendali.
Umumnya telah sepakat bahwa faktor-faktor penyebab degradasi baik secara alami maupun campur tangan manusia menimbulkan kerusakan dan menurunnya produktivitas tanah.  Pada sistem usahatani tebas dan bakar atau perladangan berpindah masih tergantung pada lama waktu bera agar tergolong sistem usaha yang berkelanjutan secara ekologis.  Secara khusus disebutkan bahwa sistem tersebut pada beberapa daerah marjinal dan tekanan populasi terhadap lahan cukup tinggi, kebutuhan ekonomi makin meningkat mengakibatkan masa bera makin singkat sangat merusak dan menyebabkan degradasi tanah dan lingkungan (Lal, 1986).   Lahjie (1989) menyatakan kondisi tanah menentukan lamanya masa bera, pada tanah subur di Datah Bilang Kabupaten Kutai maka jekau betiq muda (vegetasi Æ 10 cm) dicapai pada umur 4 tahun, sedangkan pada tanah kurang subur seperti di Long Urug Kabupaten Bulungan dicapai pada umur 8 tahun.   Ahn (1993) menyatakan masa bera telah memendek dari masa bera umumnya  yaitu lebih dari 10 – 20 tahun. Von Vexkul (1996) menyatakan bahwa lama masa bera yang berkelanjutan dalam banyak kasus telah menurun kurang dari 5 tahun. Berdasarkan hasil kajian diatas patokan masa bera yang berkelanjutan tergantung juga kepada kondisi kesuburan tanah, pada tanah ladang yang subur maka masa bera lebih pendek dibandingkan tanah ladang tidak subur.  Driessen et al., (1976) menyatakan bahwa pada tanah ladang Podzolik di Tamiyang Layang Kalimantan Tengah mengalami penurunan produktivitas  mula-mula disebabkan memburuknya morfologi, sifat fisik dan  sifat kimia tanah.  Namun setelah 5 tahun penggunaan tanah penurunan produktivitas disebabkan karena slaking sehingga terjadi erosi , menyebabkan tanah kehilangan lapisan atas yang umumnya mengandung lebih dari 80% unsur hara di dalam profil tanah.  Hal tersebut sejalan dengan penelitian McAlister et al., (1998) bahwa setelah 5 tahun sejak pembakaran maka konsentrasi unsur hara menurun, persentase Al tinggi dan persentase kejenuhan basa rendah di subsoil setelah 2 – 5 tahun pembakaran.  Tanah menjadi subyek erosi, subsoil menjadi media tumbuh tanaman, dan tingginya tingginya konsentrasi  Al pada tingkat meracun serta rendahnya kejenuhan basa mendorong penurunan produksi tanaman.
Pengaruh antropogenik terhadap degradasi tanah akan sangat tinggi apabila tanah diusahakan bukan untuk non pertanian.  Perhitungan kehilangan tanah yang ditambang untuk pembuatan bata merah sangat besar.  Manik dkk (1997) menghitung kehilangan tanah akibat pembuatan bata merah di Bandar Lampung sekitar 4.510,4  Mg ha-1 yang merupakan 201,4 kali lebih besar dari erosi rata-rata.   Hidayati (2000) menyatakan akibat penimbunan permukaan tanah dengan tanah galian sumur tambang emas di Sukabumi mengakibatkan penurunan status hara, menurunkan populasi mikroba dan artropoda tanah, dan merubah iklim mikro.
Laju deforestrasi di Indonesia sebesar 1,6 juta ha per tahun; sedangkan luas lahan kritis hingga awal tahun 1999/2000 keseluruhan seluas 23,2 juta ha, dan 1,8 juta ha di Kalimantan tengah (Dephut, 2003).  Deforestasi mengakibatkan penurunan sifat tanah.  Handayani (1999) menyatakan bahwa deforestrasi menyebabkan kemampuan tanah melepas N tersedia (amonium dan nitrat) menururn.  Tanah hutan mampu melepas N tersedia 30 mg N kg-1 tanah dalam 7 hari, sedangkan pada hutan yang telah ditebang  6 bulan sebesar 26,5 mg N kg-1 tanah, dan apabila digunakan untuk pertanian maka N tersedia yang dapat dilepas tinggal 20 mg N kg-1 tanah.  Tian (1998) menyatakan degradasi lahan akibat land clearing dan penggunaan untuk pertanaman secara terus-menerus selama 17 tahun memicu hilangnya biota tanah dan memburuknya sifat-sifat fisik dan kimia tanah.  Dibandingkan tanah non terdegradasi, maka tanah terdegradasi lebih rendah 38% C organik tanah, 55% lebih rendah basa-basa dapat ditukar, 56% lebih rendah biomass mikrobia, 44% lebih rendah kerapatan mikroartropoda, sebaliknya 13% lebih tinggi berat isi dan 14% pasir.  Nilai pH tanah non terdegradasi lebih tinggi daripada tanah terdegradasi.  Begitu pula ditemukan bahwa dekomposisi daun dan pelepasan unsur hara lebih rendah pada tanah terdegradasi daripada non terdegradasi selama 150 hari percobaan. 
Kebakaran hutan seringkali terjadi, data menunjukkan bahwa luas kebakaran hutan di Indonesia 5 tahun terakhir terluas pada tahun 1998 sebesar 515.026 ha, sedangkan pada tahun 2002 sebesar 35.496 ha (Dephut, 2003).  Karakteristik tanah terbakar di Sumatera ditinjau dari warna tanah masih dapat bertahan 12 minggu setelah hutan terbakar, nilai value dan chroma menurun dan hue menjadi lebih kuning.  Kebakaran menyebabkan perubahan warna agregat luar memiliki hue dan chroma lebih rendah dan hue menjadi lebih merah dibandingkan warna dalam agregat. Selama itu terjadi penurunan Cadd dan meningkatnya kejenuhan Al. Penggunaan warna tanah setelah kebakaran untuk menduga kesuburan tanah sangat terbatas, sebab kesuburan tanah berubah lebih cepat daripada warna tanah (Ketterings and Bighman, 2000). Kebakaran hutan terutama pada tanah yang terdapat tunggul atau log mengalami perubahan mineral filosilikat.  Pada kedalaman 0 – 8 cm pada pasca kebakaran maka kaolin (kaolinit dan haloisit) hancur secara sempurna, sedangkan vermikulit, klorit, klorit-vermikulit, dan hidroksi interlayer vermikulit jarak basalnya d001 mengerut hingga 0,1 nm atau terlapuk (Ulery et al., 1996).   Kebakaran hutan  berdampak pada penurunan aktivitas enzim (Boerner et al, 2000), menurunkan biomas akar kedalaman 0 - 10 cm dan sekitar 47% biomas akar hilang pada kedalaman 0 - 2 cm,  serta menurunkan produktivitas akar hingga 86% (Castellanos et al., 2001), kebakaran  berdampak besar pada peningkatan BD dan  kehilangan C pada lapisan 0 - 5 cm  dibandingkan dengan 5 – 10 cm dan berpengaruh kecil pada lapisan  30 cm (Pennington et al, 2001), kebakaran juga menyebabkan penurunan laju respirasi hingga 26 %  pada aktivitas dan komunitas mikroba diakibatkan  peracunan dissolved organic carbon (DOC) karena hilangnya asam karboksilik organik (Fritze et al., 1998), kebakaran juga menyebabkan meningkatnya ammonium, P tersedia, Na+, K+, Mg2+, menurunkan nitrat, KTK dan Ca2+, bahan organik, sedangkan erosi akibat kebakaran dapat berkisar 56 dan  45  kali lebih tinggi dibandingkan  tanah tidak terbakar masing-masing pada intensitas tinggi dan sedang di Mediterania (Garcia et al, 2000).